BENDA PENINGGALAN PRASEJARAH MASA MEGALITHIKUM DI
SITUS PAKAUMAN BONDOWOSO”
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Megalitik
berasal dari kata mega yang berarti besar, dan lithos yang berarti batu. Zaman
Megalitikum biasa disebut dengan zaman batu besar, karena pada zaman ini
manusia sudah dapat membuat dan meningkatkan kebudayaan yang terbuat dan
batu-batu besar. Kebudayaan ini berkembang dari zaman Neolitikum sampai zaman
Perunggu. Pada zaman ini manusia sudah mengenal kepercayaan. Walaupun
kepercayaan mereka masih dalam tingkat awal, yaitu kepercayaan terhadap roh
nenek moyang, Kepercayaan ini muncul karena pengetahuan manusia sudah mulai
meningkat. Pada zaman Megalithikum (Zaman
Batu Besar ) di Indonesia, manusia purba telah mengenal suatu kepercayaan terhadap
kekuatan gaib atau luar biasa diluar kekuatan manusia. Mereka percaya terhadap
hal-hal yang menakutkan atau serba hebat. Selain itu mereka menyembah nenek
moyangnya. Kadang kala kalau melihat pohon besar, tinggi dan rimbun, manusia
merasa ngeri. Manusia purba ini kemudian berkesimpulan bahwa kengerian itu
disebabkan pohon itu ada mahluk halus yang menghuninya.
Begitupun
terhadap batu besar serta binatang besar yang menakutkan. Kekuatan alam yang
besar seperti petir, topan, banjir dan gunung meletus dianggap menakutkan dan
mengerikan sehingga mereka memujannya. Selain memuja benda-benda dan binatang
yang menakutkan dan dianggap gaib, manusia purba juga menyembah arwah
leluhurnya. Mereka percaya bahwa roh para nenek moyang mereka tinggal di tempat
tertentu atau berada di ketinggian misalnya di atas puncak bukit atau puncak
pohon yang tinggi. Untuk tempat turunnya roh nenek moyang inilah didirikan
bangunan megalitik yang pada umumnya dibuat dari batu inti yang utuh, kemudian
diberi bentuk atau dipahat sesuai dengan keinginan atau inspirasi.
Tinggalan
budaya megalitikum di wilyah Jawa Timur bagian Timur seperti di wilayah Jember,
Bondowso, Situbondo dan Banyuwangi cukup banyak. Dari beberapa penelitian
Selama ini, diketahui bahwa peninggalan yang terdapat di wilayah Bondwoso
sangat padat sebarannya dan variasai hasil budayanya paling banyak. Oleh
karenanya tidaklah salah jika ada yang menyebut timur Jawa Timur tersebut
merpakan kerajaan megalitikum dengan ibu kotanya di Bondowoso.
Kabupaten Bondowoso, adalah sebuah kabupaten di
Provinsi Jawa Timur Indonesia Ibukotanya adalah Bondowoso. Kabupaten ini
berbatasan dengan Kabupaten Situbondo di utara, Kabupaten Banyuwangi di timur,
Kabupaten Jember di selatan, serta Kabupaten Probolinggo di barat. Ibukota
kabupaten Bondowoso berada di persimpangan jalur dari Besuki dan Situbondo
menuju Jember.
Kondisi dataran di Kabupaten Bondowoso terdiri atas
pegunungan dan perbukitan seluas 44,4 %, 24,9 % berupa dataran tinggi
dan dataran rendah 30,7 % dari luas wilayah keseluruhan. Kabupaten
Bondowoso berada pada ketinggian antara 78-2.300 meter dpl, dengan rincian
3,27% berada pada ketinggian di bawah 100 m dpl, 49,11% berada pada ketinggian
antara 100 – 500 m dpl, 19,75% pada ketinggian antara 500 – 1.000 m dpl dan
27,87% berada pada ketinggian di atas 1.000 m dpl. Menurut klasifikasi
topografis wilayah, kelerengan Kabupaten Bondowoso bervariasi. Datar dengan
kemiringan 0-2 % seluas 190,83 km2, landai (3-15%) seluas 568,17 km2, agak
curam (16-40%) seluas 304,70 km2 dan sangat curam di atas 40% seluas 496,40
km2. Berdasarkan tinjauan geologis di Kabupaten Bondowoso terdapat 5 jenis batuan,
yaitu hasil gunung api kwarter 21,6%, hasil gunung api kwarter muda 62,8%,
batuan lensit 5,6%, alluvium 8,5% dan miasem jasies sedimen 1,5%. Untuk jenis
tanahnya 96,9% bertekstur sedang yang meliputi lempung, lempung berdebu dan
lempung liat berpasir; dan 3,1% bertekstur kasar yang meliputi pasir dan pasir
berlempung. Berdasarkan tinjauan geologi, topografi, jenis tanah dan pola
pemanfaatan lahan, wilayah Kabupaten Bondowoso memiliki karakteristik sebagai
kawasan rawan terhadap terjadinya bencana alam, khususnya banjir dan longsor.
Sehingga Kabupaten Bondowoso merupakan sebuah
Kabupaten kecil akan tetapi terdapat banyak Peninggalan Megalithikum terutama
di Situs Pakauman Bondowoso. Merujuk dari latar belakang tersebut, maka penulis
membuat makalah yang berjudul “BENDA PENINGGALAN PRASEJARAH MASA
MEGALITHIKUM DI SITUS PAKAUMAN BONDOWOSO”
1.2 Rumusan
Masalah
1.2.1
Bagaimana Tradisi megalithikum yang ada di Indonesia?
1.2.2
Bagaimana Kondisi Lingkungan dan Pola Perkampungan Di situs Pakauman Bondowoso?
1.2.3
Bagaimana Sebaran Benda benda Peninggalan Megalitik Di situs Pakauman
Bondowoso?
1.3 Tujuan
Penulisan Makalah
1.3.1 Untuk
Mengetahui Tradisi Megalithikum Di Indonesia
1.3.2 Untuk
Mengetahui Kondisi Lingkungan dan Perkampungan di situs Pakauman Bondowoso
1.3.3 Untuk
Mengetahui Benda benda Peninggalan Megalitik Di situs Pakauman Bondowoso
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Tradisi
megalithikum yang ada di Indonesia
Bangunan-bangunan
megalithikum itu tersebar luas didaerah asia tenggara. disini tradisi yang
berhubungan dengan pendirian bangunan megakithikum ini sekarang sebagian sudah
musnah dan ada yang masih berlangsung. (Poesponogoro.`1992:205) Pada zaman Megalithikum (Zaman Batu Besar ) di Indonesia, manusia purba telah
mengenal suatu kepercayaan terhadap kekuatan gaib atau luar biasa diluar
kekuatan manusia. Mereka percaya terhadap hal-hal yang menakutkan atau serba
hebat. Selain itu mereka menyembah nenek moyangnya. Kadang kala kalau melihat
pohon besar, tinggi dan rimbun, manusia merasa ngeri. Manusia purba ini
kemudian berkesimpulan bahwa kengerian itu disebabkan pohon itu ada mahluk
halus yang menghuninya. Begitupun terhadap batu besar serta binatang besar yang
menakutkan.
Kekuatan
alam yang besar seperti petir, topan, banjir dan gunung meletus dianggap
menakutkan dan mengerikan sehingga mereka memujannya. Selain memuja benda-benda
dan binatang yang menakutkan dan dianggap gaib, manusia purba juga menyembah
arwah leluhurnya. Mereka percaya bahwa roh para nenek moyang mereka tinggal di
tempat tertentu atau berada di ketinggian misalnya di atas puncak bukit atau
puncak pohon yang tinggi. Untuk tempat turunnya roh nenek moyang inilah
didirikan bangunan megalitik yang pada umumnya dibuat dari batu inti yang utuh,
keudian diberi bentuk atau dipahat sesuai dengan keinginan atau inspirasi.
Bangunan megalitik hampir semuanya berukuran besar
Jaman
megalithikum dibagi menjadi dua gelombang yaitu :
- Megalithikum tua yang diwakili antara lain oleh menhir, undak batu dan patung-patung simbolis-monumontal bersama-sama dengan pendukung kebudayaan beliung yang diperkirakan berusia 2500-1500 sebelum masehi, dan dimasukkan pada masa Neolithikum.
- Megalithikum muda yang mewakili antara lain oleh peti kubur batu, dolmen semu, sarcophagus, yang berkembang dalam masa yang telah mengenal perunggu dan berusia sekitar awal milinium pertama sebelum masehi hingga abad-abad pertama masehi. (Poesponogorodan Notosusanto.`1992:224)
Baik
teori-teori yang terdahulu maupun yang diajukan kemudian oleh Von Heine Geldren
telah diterima oleh sebagian besar para ahli. Pada pembedahan antara
megalithikum tua dan megalithikum muda, Von Heine Geldren memasukkan
megalithikum tua kedalam Neolithikum. Tradisi ini didukung oleh para pemakai
bahasa Austronesia yang menghasilkan alat-alat beliung persegi dan mulai pula
membuat benda atau bangunan yang disusun dari batu besar,seperti dolmen,undak
batu,limas (piramid) berundak dan pelinggis. Penelitian lebih lanjut yang
bertolak dari gagasan kosmo-magis mengungkapkan unsure-unsur yang lebih asli
lagi seperti antara lain tembok batu dan jalan batu.
Sementara Pengaruh terhadap perkembangan masyarakat
di Indonesia Pada Zaman megalithikum sangatlah besar Konsepsi pemujaan nenek
moyang melahirkan tata cara yang menjaga tingkah laku masyarakat di dunia fana
supaya sesuai dengan tuntutan hidup di dunia akhirat disamping menambah
kesejahteraan di dunia fana. Pada masa ini organisasi masyarakat sudah teratur.
Pengetahuan tentang teknologi yang berguna dan nilai-nilai hidup terus
berkembang,antara lain cara-cara pembiakan ternak,pemilihan benih-benih tanaman
dan penemuan alat-alat baru yang lebih cocok untuk keperluan sehari-hari makin
bertambah.
Sikap hidup
selalu berkisar pada persoalan-persoalan manusia, bumi, hewan dan tabu.
Perkampungan merupakan pusat kehidupan setelah pola hidup mengembara di
tinggalkan sama sekali.
Sementara
itu Pendirian candi-candi di Indonesia merupakan refleksi kelanjutan tradisi
megalithikum ini. Tentang gejala-gejala ini Von Heine Geldren telah memberikan
pandangannya. Sebelum itu tak seorang pun mengemukakan pengertian-pengertian
yang di tunjukkan pada tradisi megalithikum, selain dari yang berkisar dari
corak dan sifat yang “oud-anheemschoer-indonesisch,ataupun
“prehindoeistisch”Hal ini menjelaskan kepada kita bahwa tradisi megalithikum
ikut menentukan bentuk-susunan percandian di Indonesia. Tradisi megalithikum
telah secara formal mencampurkan diri dalam seni bangunan maupun seni pahat
Jawa-Hindu dan bahwa penggunaan bangunan berundak yang di hubungkan dengan
pemujaan merupakan campuran pandangan masyarakat Indonesia asli dengan siwaisme
(Poesponogoro dan Notosusanto.1992:206-211)
Terdapat
Pula Menhir menhir sebagai lambang dari jasa-jasanya kemudian menjadi lambang
dari dirinya. Kenangan dan penghargaan terhadap jasa-jasanya tadi beralih
menjadi pemujaan terhadap dirinya, yang tetap masih dianggap sebagai pelindung
masyarakat. Dengan upacar-upacara tertentu, rohnya dianggap turun kedalam
menhir untuk langsung berhubungan dengan para pemujannya Kalau untuk rohnya di
dirikan sebuah menhir, maka untuk raganya disediakan berbagai kuburan: keranda,
kubur batu, pandhusa atau lainnya dan kecuali jasa yang di bawa ke akhirat,
maka dalam kuburannya itu disertakan kepada mayatnya bermacam-macam benda,
alat-alat dan perhiasan, sebagai bekal .Selain itu Roh itu tempatnya jauh
disana, biasanya digambarkan di atas dunia ini, juga diatas gunung.
Guna
menunjukkan letak yang ada di atas itu, tidak jarang sebuah menhir didirikan
diatas sebuah bangunan berundak-undak, yang melambangkan tingkatan-tingkatan
yang harus dilalui guna mencapai tempat yang tertinggi. Banyak pula kalanya
bahwa menhir itu sudah tidak dinyatakan lagi, dan bahwa sebagai lambang dari
alam pikiran yang demikian itu cukuplah didirikan punden berundak-undak saja,
sedangkan sering pula terjadi bahwa roh nenek moyang itu dinyatakan dalam
patung-patung. .(Soekmono.1973:76-78)
2.2 Kondisi
Lingkungan dan Perkampungan di situs Pakauman Bondowoso
Masyarakat
berbudaya megalitik yang pernah hidup didaerah Bondowoso merupakan masyarakat yang
cukup besar. Mereka mendiami wilayah yang cukup luas dengan hidup secara
berkelompok atau memusat di suatu tempat atau menyebar didaerah-daerah sampai
dilokasi yang cukup terpencil dan jauh dari pusat permukiman. Sebagai pusat
pemukiman adalah daerah Wringin dan Grujugan pada saat ini. (Muhammad Hidayat,
2007 :19-23)
Situs
Pakauman adalah sebidang tanah tegalan dan sekaligus merupakan lahan pertanian.
Topografi daerah Pakauman termasuk datar sampai berumbak,dengan relief sekitar
satu meter. Kelerengannya sebesar 1-2 derajat dengan arah dominan ke timur.
Vegetasi di sekitar situs adalah pohon jati dan pohon sono (sebelah barat), dan
pohon pinus disebelah timur laut. Jenis tumbuhan lainnya adalah pohon
kelapa,pisang,bambu,dan tanaman budidaya lainnya.Sementara itu kondisi
lingkungan di Situs Pakauman Bondowoso terdapat kecenderungan bahwa pemukiman
di Pakauman (sebagai tempat beraktivitas) memilih tempat yang elevasinya
reletif rendah dengan jenis tanaman yang bervariasi. Dengan demikian sumbur
daya lingkungan yang dijadikan dasar penentuan lokasi pemukiman adalah :
tersedianya lahan pertanian,sumber daya alam (hutan jatri,sono dan pinus),dekat
sungai atau sumber air. Sungai Sampeyan disamping merupakan sumber air,terdapat
kandungan batu yang merupakan bahan baku pembuatan monomen megalitik. Desa atau
perkampungan di Pakauman terdiri dari 26 rumah yang terdiri diatas umpak batu.
Susunan umpak berbentuk persegi panjang,bujur sangkar dan bentuk
kebulat-bulatan. Konstruksi bangunan bagian atas dari bahan kayu atau bamboo
dan atapnya dari dau-daun.
Pada Masa
itu Di Kabupaten Bondowoso dan Indonesia Pada Umumnya Manusia purba masih
Percaya pohon itu ada mahluk halus yang menghuninya. Begitupun terhadap batu
besar serta binatang besar yang menakutkan. Kekuatan alam yang besar seperti
petir, topan, banjir dan gunung meletus dianggap menakutkan dan mengerikan
sehingga mereka memujannya.
Selain
memuja benda-benda dan binatang yang menakutkan dan dianggap gaib, manusia
purba juga menyembah arwah leluhurnya. Mereka percaya bahwa roh para nenek
moyang mereka tinggal di tempat tertentu atau berada di ketinggian misalnya di
atas puncak bukit atau puncak pohon yang tinggi. Untuk tempat turunnya roh
nenek moyang inilah didirikan bangunan megalitik yang pada umumnya dibuat dari
batu inti yang utuh, keudian diberi bentuk atau dipahat sesuai dengan keinginan
atau inspirasi. Bangunan megalitik hampir semuanya berukuran besar. Jadi secara
ringkas kepercayaan manusia purba pada masa ini dapat dibedakan menjadi 2 macam
yakni:
2.1.1 Dinamisme
Kepercayaan
kepada kekuatan gaib yang terdapat pada benda-benda tertentu, misalnya pada
pohon, batu besar, gunung, gua, azimat dan benda-benda lain yang dianggap
keramat.
2.1.2
Animisme
Kepercayaan
kepada roh nenek moyang atau leluhur, mereka percaya, manusia setelah meninggal
rohnya tetap adadan tinggal ditempat-tempat tertentu dan harus diberi sesajen
pada waktu-waktu tertentu.
3.1 Benda
benda Peninggalan Megalitik Di situs Pakauman Bondowoso
Para peneliti sejarah sepakat bahwa Kabupaten Bondowoso
diperkirakan tergolong dalam era tradisi megalitik muda, yang berlangsung
sangat lama hingga sekitar abad XIV masehi. HR Van Hakeren, dalam bukunya The
Stone Age of Indonesia (1972), bahkan menentukan bahwa Dolmen Bondowoso
berlangsung antara awal tarikh masehi sekitar 2500-2000 Sebelum Masehi.
Gambaran tentang waktu ini terlihat dari Dolmen di Desa Pakauman, Kecamatan Grujugan, yang berlokasi sekitar 5 km di sebelah selatan kota Bondowoso. Dari asal katanya, Breton (di Inggris Utara), ''Dol'' berarti ''meja'' dan ''Men'' adalah ''batu''. Orang Bondowoso yang mayoritas berbahasa Madura menyebutnya Betoh Meja (batu meja).
Gambaran tentang waktu ini terlihat dari Dolmen di Desa Pakauman, Kecamatan Grujugan, yang berlokasi sekitar 5 km di sebelah selatan kota Bondowoso. Dari asal katanya, Breton (di Inggris Utara), ''Dol'' berarti ''meja'' dan ''Men'' adalah ''batu''. Orang Bondowoso yang mayoritas berbahasa Madura menyebutnya Betoh Meja (batu meja).
Berdasarkan
fungsinya tinggalan Megalitikum di Pakauman dapat dibedakan menjadi tiga
kelompok. Pertama kelompok batu kenong merupakan sisa bangunan (umpak) dengan
fungsi sebagai penyangga banguna rumah. Kedua adalah kelompok Dolmen dan
Sarkofagus yang berfungsi sebagai wadah atau tempat kubur/mayat. Ketiga
kelompok Menhir, Arca menhir dan kursi batu yang berfungsi sebagai media
pemujaan arwah nenek moyang. Ketiga kelompok teusn tersebut mempunyai jenis,
distribusi serta fungsi yang berbeda, memeberi petunjuk jelas kepada kita
tentang adanya pola permukiman arkeologi prasejarah, khususnya pada masa
perundagian di jawa timur.
Bentuk
pemukiman da pakauman,dapat dikatakan berbentuk kecil (semacam pedukuhan).
Permukiman tersebut dibangun dekat sungai Sampeyan yang mengalir dilembah
antara pegunungan Hiyang disebelah barat,dan dataran tinggi Ijen disebelah
timur. Sungai Sampeyan bermuara di selat Madura. Survei permukaan tanah di
situs Pakauman,desa Grujugan,Kabupaten Bondowoso,Provinsi Jawa Timur,
menghasilkan peta sebaran megalitikum. Berdasarkan jenis dan fungsinya dapat di
kelompokkan menjadi :
- Arca Batu Kenong
Batu kenong
merupakan istilah penduduk setempat,bentuknya silindrik dengan tonjolan di
puncaknya. Keberadaan batu kenong di Pakauman selalu berkelompok, kelompok yang
terkecil berjumlah 3 buah batu kenong,dan kelompok terbesar terdiri 20 buah
batu kenong. Dalam situs ditemukan 26 kelompok batu kenong. Salah satu kelompok
batu kenong di Pakauman telah digali oleh Willems pada tahun 1938 dan menemukan
: pecahan grabah,periuk,manik-manik kaca,sebuah gelang besi,dan lima buah
pemukul kulit kayu (Soejono 1984). Kelompok batu kenong di Pakauman sejak
penelitian tersebut sampai sekarang belum di ketahui fungsinya. Batu kenong
sebagai umpak,merupakan unsur bangunan bagian bawah atau pondasi. Bahan
bangunan lainnya (bagian atas) berupa kayu atau bambu dan atapnya dari
daun-daun atau jenis rumput-rumputan, yang tidak tahan lama sehingga tidak
ditemukan sisa-sisanya.
- Dolmen dan Sarkofagus
Dolmen
merupakan meja dari batu yang berfungsi sebagai tempat meletakkan saji-sajian
untuk pemujaan. Adakalanya di bawah dolmen dipakai untuk meletakkan mayat, agar
mayat tersebut tidak dapat dimakan oleh binatang buas maka kaki mejanya
diperbanyak sampai mayat tertutup rapat oleh batu. Sarana penguburan dan sering
disebut sebagai dolmen semu (karena tidak berfungsi sebagai sarana pemujaan)
ditemukan secara terpisah atau berkonteks dengan benda megalitik
lainnya.didaerah Grujukan dolmen ditemukan di lingkungan sarkofagus. Sementara
dolmen di daerah Maesan berkonteks dengan sarkofagus maupun batu kenong, selain
kedua lokasi tersebut,dolmen juga ditemukan di Punjer,Tlogosari,dan kecamatan
Bondowoso (Sudarsono,1995) Sarkofagus adalah keranda batu atau peti mayat yang
terbuat dari batu. Bentuknya menyerupai lesung dari batu utuh yang diberi
tutup. Dari Sarkofagus yang ditemukan umumnya di dalamnya terdapat mayat dan
bekal kubur berupa periuk, kapak persegi, perhiasan dan benda-benda dari
perunggu serta besi. Daerah tempat ditemukannya sarkofagus adalah Bali. Menurut
masyarakat Bali Sarkofagus memiliki kekuatan magis/gaib. Berdasarkan pendapat
para ahli bahwa sarkofagus dikenal masyarakat Bali sejak zaman logam
Tinggalan
megalitik jenis dolmen,oleh penduduk setempat disebut “pandhusa” atau “makam
cina”. Dolmen adalah jenis batu kubur yang biasanya mengarah timur-barat,
terdiri atas lantai dari papan batu, beberapa batu tegak sebagai dinding dan
ditutup oleh sebuah batu besar. Dibagian timur kadang-kadang juga dibagian
barat terdapat semacam pintu masuk. Penelitian terhadap dolmen telah banyak
dilakukan, antara lain oleh Steinmetz (1898),Hubenet (1903),B.de Haan
(1921),dan Willems (1940). Ekskavasi Willems tahun 1940 membuktikan bahwa
dolmen benar-benar berfungsi sebagai kuburan. Dalam kubur terdapat
tulang-tulang manusia, sisa bekal kubur seperti pecahan periuk, sebuah pecahan
keramik cina (dari abad 9) dan pahat besi. Dolmen lainnya yang pernah digali
oleh de Haan menghasilkan temuan gigi manusia, manik-manik sebanyak 79 buah
dalam berbagai ukuran dan terbuat dari batu, dan kaca.
Temuan
lainnya adalah satu buah cincin emas (Soejono 1984).Berbeda dengan dolmen atau
“pandhusa”,sarkofagus adalah tempat kubur, terdiri wadah dan tutup, bentuk dan
ukurannya sama (simetris). Dinding muka sarkofagus kadang-kadang dihias dengan
ukiran bermotif binatang berkaki empat, burung dan bentuk manusia. Balai
Arkeologi Yogyakarta dalam penelitiannya tahun 1985 menemukan 71 dolmen dan 21
buah sarkofagus. Kedua jenis bangunan megalitik ini ditemukan dalam satu situs
dan berfungsi sebagai wadah kubur.
- Arca menhir, Menhir dan Kursi Batu
Menhir adalah bangunan yang berupa tugu batu yang
didirikan untuk upacara menghormati roh nenek moyang, sehingga bentuk menhir
ada yang berdiri tunggal dan ada yang berkelompok serta ada pula yang dibuat
bersama bangunan lain yaitu seperti punden berundak-undak. Arca menhir
ditemukan satu buah tergeletek dibawah pematang di dekat lokasi penggalian
Willems dan dapat diduga erat hubungannya dengan pemujaan leluhur.arca ini
berukuran tinggi 160 cm.berbentuk kepala besar, massif, tanpa pahatan wajah.
Pahatan kaki tidak ada, bentuk bagian bawah meruncing untuk menancapkan ke dalam
tanah.
Menhir atau batu tegak,adalah sebuah batu panjang yang
didirikan tegak sebagai batu peringatan dalam hubungannya engan pemujaan arwah
leluhur. Selama penelitian di Pakauman menemukan buah menhir. Kursi batu yang
juga disebut Pelinggih adalah batu dengan permukaan datar,kadang-kadang di
belakangnya berdiri batu lain sehingga menyerupai bentuk kursi. Di duga
fungsinya sebagai tempak duduk para leluhur. Ketiga jenis tinggalan ini (arca
menhir,menhir,dan kursi batu) masuk dalam kelompok tinggalan yang berfungsu
sebagai media pemujaan terhadap roh leluhur (Kempers, 1959:73). Sementara itu
fungsinya Menhir sebagaisarana pemujaan. Diketemukan di Grujukan dan Wringin.
Juga di daerah Tlogosari dan maesan (Sudarsono,1995) Di Grujukan di temukan
berkonteks dengan sarkofagus,sementara di Wringin di temukan menhir tanpa
berkonteks dengan bangunan megalitikum lainnya karena mempunyai ukuran yang
sangat besar di banding dengan menhir lain yang ditemukan di Bondowoso.
Sementara Itu Perlu dikemukakan bahwa di negari kita
sampai saat ini pun masih terdapat kebudayaan megalithikum yang masih hidup,
yang masih menjadi kebudayaan sekarang di kawasan Indonesia. Hal itu
dikarenakan adanya suatu pola kepercayaan yang sampai saat ini masih juga
diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, terutama oleh masyarakat pedalaman yang
ada di kepulauan Nias, Kalimantan, Papua, kebudayaan Bali dan daerah-daerah
yang jauh dari modernisasi di Indonesia ini dan Perlu diketahui 'Dari hasil
penelitian terakhir para ahli, tahun 1998, memang layak kiranya disimpulkan
bahwa tradisi megalitik Bondowoso adalah yang terkaya di Jawa Timur. Tapi saya
belum yakin bila diukur se-Indonesia,'' kata Kayan Swastika, seorang pakar
sejarah, kepada Republika belum lama ini.
Apa yang dikatakan Kayan memang tak mengada-ada.
Selaku sejarawan yang selama ini bekerja di IKIP PGRI dan Universitas Jember,
Kayan telah mengkaji ihwal tradisi ini selama bertahun-tahun. Dan hasil
kajiannya selalu terbukti melalui penelitian beberapa ahli sejarah lainnya.
Salah satu bukti bahwa Bondowoso menyimpan tradisi megalitik terlengkap di Jawa
Timur adalah fakta masih banyak ditemukannya batu-batu peninggalan zaman
prasejarah di dalam wilayah ini. Malah benda-benda bersejarah itu tersebar di
lima desa dan kecamatan, Termasuk di Desa Pakauman (Kecamatan Grujugan),
Tidak ada komentar:
Posting Komentar