Kamis, 27 Oktober 2011

PENINGGALAN MASA MEGALITHILUM


BENDA PENINGGALAN PRASEJARAH MASA MEGALITHIKUM DI SITUS PAKAUMAN BONDOWOSO”
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Megalitik berasal dari kata mega yang berarti besar, dan lithos yang berarti batu. Zaman Megalitikum biasa disebut dengan zaman batu besar, karena pada zaman ini manusia sudah dapat membuat dan meningkatkan kebudayaan yang terbuat dan batu-batu besar. Kebudayaan ini berkembang dari zaman Neolitikum sampai zaman Perunggu. Pada zaman ini manusia sudah mengenal kepercayaan. Walaupun kepercayaan mereka masih dalam tingkat awal, yaitu kepercayaan terhadap roh nenek moyang, Kepercayaan ini muncul karena pengetahuan manusia sudah mulai meningkat. Pada zaman Megalithikum (Zaman Batu Besar ) di Indonesia, manusia purba telah mengenal suatu kepercayaan terhadap kekuatan gaib atau luar biasa diluar kekuatan manusia. Mereka percaya terhadap hal-hal yang menakutkan atau serba hebat. Selain itu mereka menyembah nenek moyangnya. Kadang kala kalau melihat pohon besar, tinggi dan rimbun, manusia merasa ngeri. Manusia purba ini kemudian berkesimpulan bahwa kengerian itu disebabkan pohon itu ada mahluk halus yang menghuninya.
Begitupun terhadap batu besar serta binatang besar yang menakutkan. Kekuatan alam yang besar seperti petir, topan, banjir dan gunung meletus dianggap menakutkan dan mengerikan sehingga mereka memujannya. Selain memuja benda-benda dan binatang yang menakutkan dan dianggap gaib, manusia purba juga menyembah arwah leluhurnya. Mereka percaya bahwa roh para nenek moyang mereka tinggal di tempat tertentu atau berada di ketinggian misalnya di atas puncak bukit atau puncak pohon yang tinggi. Untuk tempat turunnya roh nenek moyang inilah didirikan bangunan megalitik yang pada umumnya dibuat dari batu inti yang utuh, kemudian diberi bentuk atau dipahat sesuai dengan keinginan atau inspirasi.
Tinggalan budaya megalitikum di wilyah Jawa Timur bagian Timur seperti di wilayah Jember, Bondowso, Situbondo dan Banyuwangi cukup banyak. Dari beberapa penelitian Selama ini, diketahui bahwa peninggalan yang terdapat di wilayah Bondwoso sangat padat sebarannya dan variasai hasil budayanya paling banyak. Oleh karenanya tidaklah salah jika ada yang menyebut timur Jawa Timur tersebut merpakan kerajaan megalitikum dengan ibu kotanya di Bondowoso.
Kabupaten Bondowoso, adalah sebuah kabupaten di Provinsi Jawa Timur Indonesia Ibukotanya adalah Bondowoso. Kabupaten ini berbatasan dengan Kabupaten Situbondo di utara, Kabupaten Banyuwangi di timur, Kabupaten Jember di selatan, serta Kabupaten Probolinggo di barat. Ibukota kabupaten Bondowoso berada di persimpangan jalur dari Besuki dan Situbondo menuju Jember.
Kondisi dataran di Kabupaten Bondowoso terdiri atas pegunungan dan perbukitan seluas 44,4 %, 24,9 % berupa dataran tinggi dan dataran rendah 30,7 % dari luas wilayah keseluruhan. Kabupaten Bondowoso berada pada ketinggian antara 78-2.300 meter dpl, dengan rincian 3,27% berada pada ketinggian di bawah 100 m dpl, 49,11% berada pada ketinggian antara 100 – 500 m dpl, 19,75% pada ketinggian antara 500 – 1.000 m dpl dan 27,87% berada pada ketinggian di atas 1.000 m dpl. Menurut klasifikasi topografis wilayah, kelerengan Kabupaten Bondowoso bervariasi. Datar dengan kemiringan 0-2 % seluas 190,83 km2, landai (3-15%) seluas 568,17 km2, agak curam (16-40%) seluas 304,70 km2 dan sangat curam di atas 40% seluas 496,40 km2. Berdasarkan tinjauan geologis di Kabupaten Bondowoso terdapat 5 jenis batuan, yaitu hasil gunung api kwarter 21,6%, hasil gunung api kwarter muda 62,8%, batuan lensit 5,6%, alluvium 8,5% dan miasem jasies sedimen 1,5%. Untuk jenis tanahnya 96,9% bertekstur sedang yang meliputi lempung, lempung berdebu dan lempung liat berpasir; dan 3,1% bertekstur kasar yang meliputi pasir dan pasir berlempung. Berdasarkan tinjauan geologi, topografi, jenis tanah dan pola pemanfaatan lahan, wilayah Kabupaten Bondowoso memiliki karakteristik sebagai kawasan rawan terhadap terjadinya bencana alam, khususnya banjir dan longsor.
Sehingga Kabupaten Bondowoso merupakan sebuah Kabupaten kecil akan tetapi terdapat banyak Peninggalan Megalithikum terutama di Situs Pakauman Bondowoso. Merujuk dari latar belakang tersebut, maka penulis membuat makalah yang berjudul “BENDA PENINGGALAN PRASEJARAH MASA MEGALITHIKUM DI SITUS PAKAUMAN BONDOWOSO”




1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Bagaimana Tradisi megalithikum yang ada di Indonesia?
1.2.2 Bagaimana Kondisi Lingkungan dan Pola Perkampungan Di situs Pakauman Bondowoso?
1.2.3 Bagaimana Sebaran Benda benda Peninggalan Megalitik Di situs Pakauman Bondowoso?
1.3 Tujuan Penulisan Makalah
1.3.1 Untuk Mengetahui Tradisi Megalithikum Di Indonesia
1.3.2 Untuk Mengetahui Kondisi Lingkungan dan Perkampungan di situs Pakauman Bondowoso
1.3.3 Untuk Mengetahui Benda benda Peninggalan Megalitik Di situs Pakauman Bondowoso
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Tradisi megalithikum yang ada di Indonesia
Bangunan-bangunan megalithikum itu tersebar luas didaerah asia tenggara. disini tradisi yang berhubungan dengan pendirian bangunan megakithikum ini sekarang sebagian sudah musnah dan ada yang masih berlangsung. (Poesponogoro.`1992:205) Pada zaman Megalithikum (Zaman Batu Besar ) di Indonesia, manusia purba telah mengenal suatu kepercayaan terhadap kekuatan gaib atau luar biasa diluar kekuatan manusia. Mereka percaya terhadap hal-hal yang menakutkan atau serba hebat. Selain itu mereka menyembah nenek moyangnya. Kadang kala kalau melihat pohon besar, tinggi dan rimbun, manusia merasa ngeri. Manusia purba ini kemudian berkesimpulan bahwa kengerian itu disebabkan pohon itu ada mahluk halus yang menghuninya. Begitupun terhadap batu besar serta binatang besar yang menakutkan.
Kekuatan alam yang besar seperti petir, topan, banjir dan gunung meletus dianggap menakutkan dan mengerikan sehingga mereka memujannya. Selain memuja benda-benda dan binatang yang menakutkan dan dianggap gaib, manusia purba juga menyembah arwah leluhurnya. Mereka percaya bahwa roh para nenek moyang mereka tinggal di tempat tertentu atau berada di ketinggian misalnya di atas puncak bukit atau puncak pohon yang tinggi. Untuk tempat turunnya roh nenek moyang inilah didirikan bangunan megalitik yang pada umumnya dibuat dari batu inti yang utuh, keudian diberi bentuk atau dipahat sesuai dengan keinginan atau inspirasi. Bangunan megalitik hampir semuanya berukuran besar
Jaman megalithikum dibagi menjadi dua gelombang yaitu :
  1. Megalithikum tua yang diwakili antara lain oleh menhir, undak batu dan patung-patung simbolis-monumontal bersama-sama dengan pendukung kebudayaan beliung yang diperkirakan berusia 2500-1500 sebelum masehi, dan dimasukkan pada masa Neolithikum.
  2. Megalithikum muda yang mewakili antara lain oleh peti kubur batu, dolmen semu, sarcophagus, yang berkembang dalam masa yang telah mengenal perunggu dan berusia sekitar awal milinium pertama sebelum masehi hingga abad-abad pertama masehi. (Poesponogorodan Notosusanto.`1992:224)
Baik teori-teori yang terdahulu maupun yang diajukan kemudian oleh Von Heine Geldren telah diterima oleh sebagian besar para ahli. Pada pembedahan antara megalithikum tua dan megalithikum muda, Von Heine Geldren memasukkan megalithikum tua kedalam Neolithikum. Tradisi ini didukung oleh para pemakai bahasa Austronesia yang menghasilkan alat-alat beliung persegi dan mulai pula membuat benda atau bangunan yang disusun dari batu besar,seperti dolmen,undak batu,limas (piramid) berundak dan pelinggis. Penelitian lebih lanjut yang bertolak dari gagasan kosmo-magis mengungkapkan unsure-unsur yang lebih asli lagi seperti antara lain tembok batu dan jalan batu.
Sementara Pengaruh terhadap perkembangan masyarakat di Indonesia Pada Zaman megalithikum sangatlah besar Konsepsi pemujaan nenek moyang melahirkan tata cara yang menjaga tingkah laku masyarakat di dunia fana supaya sesuai dengan tuntutan hidup di dunia akhirat disamping menambah kesejahteraan di dunia fana. Pada masa ini organisasi masyarakat sudah teratur. Pengetahuan tentang teknologi yang berguna dan nilai-nilai hidup terus berkembang,antara lain cara-cara pembiakan ternak,pemilihan benih-benih tanaman dan penemuan alat-alat baru yang lebih cocok untuk keperluan sehari-hari makin bertambah. 
Sikap hidup selalu berkisar pada persoalan-persoalan manusia, bumi, hewan dan tabu. Perkampungan merupakan pusat kehidupan setelah pola hidup mengembara di tinggalkan sama sekali.
Sementara itu Pendirian candi-candi di Indonesia merupakan refleksi kelanjutan tradisi megalithikum ini. Tentang gejala-gejala ini Von Heine Geldren telah memberikan pandangannya. Sebelum itu tak seorang pun mengemukakan pengertian-pengertian yang di tunjukkan pada tradisi megalithikum, selain dari yang berkisar dari corak dan sifat yang “oud-anheemschoer-indonesisch,ataupun “prehindoeistisch”Hal ini menjelaskan kepada kita bahwa tradisi megalithikum ikut menentukan bentuk-susunan percandian di Indonesia. Tradisi megalithikum telah secara formal mencampurkan diri dalam seni bangunan maupun seni pahat Jawa-Hindu dan bahwa penggunaan bangunan berundak yang di hubungkan dengan pemujaan merupakan campuran pandangan masyarakat Indonesia asli dengan siwaisme (Poesponogoro dan Notosusanto.1992:206-211)
Terdapat Pula Menhir menhir sebagai lambang dari jasa-jasanya kemudian menjadi lambang dari dirinya. Kenangan dan penghargaan terhadap jasa-jasanya tadi beralih menjadi pemujaan terhadap dirinya, yang tetap masih dianggap sebagai pelindung masyarakat. Dengan upacar-upacara tertentu, rohnya dianggap turun kedalam menhir untuk langsung berhubungan dengan para pemujannya Kalau untuk rohnya di dirikan sebuah menhir, maka untuk raganya disediakan berbagai kuburan: keranda, kubur batu, pandhusa atau lainnya dan kecuali jasa yang di bawa ke akhirat, maka dalam kuburannya itu disertakan kepada mayatnya bermacam-macam benda, alat-alat dan perhiasan, sebagai bekal .Selain itu Roh itu tempatnya jauh disana, biasanya digambarkan di atas dunia ini, juga diatas gunung.
Guna menunjukkan letak yang ada di atas itu, tidak jarang sebuah menhir didirikan diatas sebuah bangunan berundak-undak, yang melambangkan tingkatan-tingkatan yang harus dilalui guna mencapai tempat yang tertinggi. Banyak pula kalanya bahwa menhir itu sudah tidak dinyatakan lagi, dan bahwa sebagai lambang dari alam pikiran yang demikian itu cukuplah didirikan punden berundak-undak saja, sedangkan sering pula terjadi bahwa roh nenek moyang itu dinyatakan dalam patung-patung. .(Soekmono.1973:76-78)
2.2 Kondisi Lingkungan dan Perkampungan di situs Pakauman Bondowoso
Masyarakat berbudaya megalitik yang pernah hidup didaerah Bondowoso merupakan masyarakat yang cukup besar. Mereka mendiami wilayah yang cukup luas dengan hidup secara berkelompok atau memusat di suatu tempat atau menyebar didaerah-daerah sampai dilokasi yang cukup terpencil dan jauh dari pusat permukiman. Sebagai pusat pemukiman adalah daerah Wringin dan Grujugan pada saat ini. (Muhammad Hidayat, 2007 :19-23)
Situs Pakauman adalah sebidang tanah tegalan dan sekaligus merupakan lahan pertanian. Topografi daerah Pakauman termasuk datar sampai berumbak,dengan relief sekitar satu meter. Kelerengannya sebesar 1-2 derajat dengan arah dominan ke timur. Vegetasi di sekitar situs adalah pohon jati dan pohon sono (sebelah barat), dan pohon pinus disebelah timur laut. Jenis tumbuhan lainnya adalah pohon kelapa,pisang,bambu,dan tanaman budidaya lainnya.Sementara itu kondisi lingkungan di Situs Pakauman Bondowoso terdapat kecenderungan bahwa pemukiman di Pakauman (sebagai tempat beraktivitas) memilih tempat yang elevasinya reletif rendah dengan jenis tanaman yang bervariasi. Dengan demikian sumbur daya lingkungan yang dijadikan dasar penentuan lokasi pemukiman adalah : tersedianya lahan pertanian,sumber daya alam (hutan jatri,sono dan pinus),dekat sungai atau sumber air. Sungai Sampeyan disamping merupakan sumber air,terdapat kandungan batu yang merupakan bahan baku pembuatan monomen megalitik. Desa atau perkampungan di Pakauman terdiri dari 26 rumah yang terdiri diatas umpak batu. Susunan umpak berbentuk persegi panjang,bujur sangkar dan bentuk kebulat-bulatan. Konstruksi bangunan bagian atas dari bahan kayu atau bamboo dan atapnya dari dau-daun.
Pada Masa itu Di Kabupaten Bondowoso dan Indonesia Pada Umumnya Manusia purba masih Percaya pohon itu ada mahluk halus yang menghuninya. Begitupun terhadap batu besar serta binatang besar yang menakutkan. Kekuatan alam yang besar seperti petir, topan, banjir dan gunung meletus dianggap menakutkan dan mengerikan sehingga mereka memujannya.
Selain memuja benda-benda dan binatang yang menakutkan dan dianggap gaib, manusia purba juga menyembah arwah leluhurnya. Mereka percaya bahwa roh para nenek moyang mereka tinggal di tempat tertentu atau berada di ketinggian misalnya di atas puncak bukit atau puncak pohon yang tinggi. Untuk tempat turunnya roh nenek moyang inilah didirikan bangunan megalitik yang pada umumnya dibuat dari batu inti yang utuh, keudian diberi bentuk atau dipahat sesuai dengan keinginan atau inspirasi. Bangunan megalitik hampir semuanya berukuran besar. Jadi secara ringkas kepercayaan manusia purba pada masa ini dapat dibedakan menjadi 2 macam yakni:
2.1.1 Dinamisme
Kepercayaan kepada kekuatan gaib yang terdapat pada benda-benda tertentu, misalnya pada pohon, batu besar, gunung, gua, azimat dan benda-benda lain yang dianggap keramat.
2.1.2 Animisme
Kepercayaan kepada roh nenek moyang atau leluhur, mereka percaya, manusia setelah meninggal rohnya tetap adadan tinggal ditempat-tempat tertentu dan harus diberi sesajen pada waktu-waktu tertentu.
3.1 Benda benda Peninggalan Megalitik Di situs Pakauman Bondowoso
Para peneliti sejarah sepakat bahwa Kabupaten Bondowoso diperkirakan tergolong dalam era tradisi megalitik muda, yang berlangsung sangat lama hingga sekitar abad XIV masehi. HR Van Hakeren, dalam bukunya The Stone Age of Indonesia (1972), bahkan menentukan bahwa Dolmen Bondowoso berlangsung antara awal tarikh masehi sekitar 2500-2000 Sebelum Masehi.
Gambaran tentang waktu ini terlihat dari Dolmen di Desa Pakauman, Kecamatan Grujugan, yang berlokasi sekitar 5 km di sebelah selatan kota Bondowoso. Dari asal katanya, Breton (di Inggris Utara), ''Dol'' berarti ''meja'' dan ''Men'' adalah ''batu''. Orang Bondowoso yang mayoritas berbahasa Madura menyebutnya Betoh Meja (batu meja).
Berdasarkan fungsinya tinggalan Megalitikum di Pakauman dapat dibedakan menjadi tiga kelompok. Pertama kelompok batu kenong merupakan sisa bangunan (umpak) dengan fungsi sebagai penyangga banguna rumah. Kedua adalah kelompok Dolmen dan Sarkofagus yang berfungsi sebagai wadah atau tempat kubur/mayat. Ketiga kelompok Menhir, Arca menhir dan kursi batu yang berfungsi sebagai media pemujaan arwah nenek moyang. Ketiga kelompok teusn tersebut mempunyai jenis, distribusi serta fungsi yang berbeda, memeberi petunjuk jelas kepada kita tentang adanya pola permukiman arkeologi prasejarah, khususnya pada masa perundagian di jawa timur.
Bentuk pemukiman da pakauman,dapat dikatakan berbentuk kecil (semacam pedukuhan). Permukiman tersebut dibangun dekat sungai Sampeyan yang mengalir dilembah antara pegunungan Hiyang disebelah barat,dan dataran tinggi Ijen disebelah timur. Sungai Sampeyan bermuara di selat Madura. Survei permukaan tanah di situs Pakauman,desa Grujugan,Kabupaten Bondowoso,Provinsi Jawa Timur, menghasilkan peta sebaran megalitikum. Berdasarkan jenis dan fungsinya dapat di kelompokkan menjadi :
  1. Arca Batu Kenong
Batu kenong merupakan istilah penduduk setempat,bentuknya silindrik dengan tonjolan di puncaknya. Keberadaan batu kenong di Pakauman selalu berkelompok, kelompok yang terkecil berjumlah 3 buah batu kenong,dan kelompok terbesar terdiri 20 buah batu kenong. Dalam situs ditemukan 26 kelompok batu kenong. Salah satu kelompok batu kenong di Pakauman telah digali oleh Willems pada tahun 1938 dan menemukan : pecahan grabah,periuk,manik-manik kaca,sebuah gelang besi,dan lima buah pemukul kulit kayu (Soejono 1984). Kelompok batu kenong di Pakauman sejak penelitian tersebut sampai sekarang belum di ketahui fungsinya. Batu kenong sebagai umpak,merupakan unsur bangunan bagian bawah atau pondasi. Bahan bangunan lainnya (bagian atas) berupa kayu atau bambu dan atapnya dari daun-daun atau jenis rumput-rumputan, yang tidak tahan lama sehingga tidak ditemukan sisa-sisanya.
  1. Dolmen dan Sarkofagus
Dolmen merupakan meja dari batu yang berfungsi sebagai tempat meletakkan saji-sajian untuk pemujaan. Adakalanya di bawah dolmen dipakai untuk meletakkan mayat, agar mayat tersebut tidak dapat dimakan oleh binatang buas maka kaki mejanya diperbanyak sampai mayat tertutup rapat oleh batu. Sarana penguburan dan sering disebut sebagai dolmen semu (karena tidak berfungsi sebagai sarana pemujaan) ditemukan secara terpisah atau berkonteks dengan benda megalitik lainnya.didaerah Grujukan dolmen ditemukan di lingkungan sarkofagus. Sementara dolmen di daerah Maesan berkonteks dengan sarkofagus maupun batu kenong, selain kedua lokasi tersebut,dolmen juga ditemukan di Punjer,Tlogosari,dan kecamatan Bondowoso (Sudarsono,1995) Sarkofagus adalah keranda batu atau peti mayat yang terbuat dari batu. Bentuknya menyerupai lesung dari batu utuh yang diberi tutup. Dari Sarkofagus yang ditemukan umumnya di dalamnya terdapat mayat dan bekal kubur berupa periuk, kapak persegi, perhiasan dan benda-benda dari perunggu serta besi. Daerah tempat ditemukannya sarkofagus adalah Bali. Menurut masyarakat Bali Sarkofagus memiliki kekuatan magis/gaib. Berdasarkan pendapat para ahli bahwa sarkofagus dikenal masyarakat Bali sejak zaman logam
Tinggalan megalitik jenis dolmen,oleh penduduk setempat disebut “pandhusa” atau “makam cina”. Dolmen adalah jenis batu kubur yang biasanya mengarah timur-barat, terdiri atas lantai dari papan batu, beberapa batu tegak sebagai dinding dan ditutup oleh sebuah batu besar. Dibagian timur kadang-kadang juga dibagian barat terdapat semacam pintu masuk. Penelitian terhadap dolmen telah banyak dilakukan, antara lain oleh Steinmetz (1898),Hubenet (1903),B.de Haan (1921),dan Willems (1940). Ekskavasi Willems tahun 1940 membuktikan bahwa dolmen benar-benar berfungsi sebagai kuburan. Dalam kubur terdapat tulang-tulang manusia, sisa bekal kubur seperti pecahan periuk, sebuah pecahan keramik cina (dari abad 9) dan pahat besi. Dolmen lainnya yang pernah digali oleh de Haan menghasilkan temuan gigi manusia, manik-manik sebanyak 79 buah dalam berbagai ukuran dan terbuat dari batu, dan kaca.
Temuan lainnya adalah satu buah cincin emas (Soejono 1984).Berbeda dengan dolmen atau “pandhusa”,sarkofagus adalah tempat kubur, terdiri wadah dan tutup, bentuk dan ukurannya sama (simetris). Dinding muka sarkofagus kadang-kadang dihias dengan ukiran bermotif binatang berkaki empat, burung dan bentuk manusia. Balai Arkeologi Yogyakarta dalam penelitiannya tahun 1985 menemukan 71 dolmen dan 21 buah sarkofagus. Kedua jenis bangunan megalitik ini ditemukan dalam satu situs dan berfungsi sebagai wadah kubur.
  1. Arca menhir, Menhir dan Kursi Batu
Menhir adalah bangunan yang berupa tugu batu yang didirikan untuk upacara menghormati roh nenek moyang, sehingga bentuk menhir ada yang berdiri tunggal dan ada yang berkelompok serta ada pula yang dibuat bersama bangunan lain yaitu seperti punden berundak-undak. Arca menhir ditemukan satu buah tergeletek dibawah pematang di dekat lokasi penggalian Willems dan dapat diduga erat hubungannya dengan pemujaan leluhur.arca ini berukuran tinggi 160 cm.berbentuk kepala besar, massif, tanpa pahatan wajah. Pahatan kaki tidak ada, bentuk bagian bawah meruncing untuk menancapkan ke dalam tanah.
Menhir atau batu tegak,adalah sebuah batu panjang yang didirikan tegak sebagai batu peringatan dalam hubungannya engan pemujaan arwah leluhur. Selama penelitian di Pakauman menemukan buah menhir. Kursi batu yang juga disebut Pelinggih adalah batu dengan permukaan datar,kadang-kadang di belakangnya berdiri batu lain sehingga menyerupai bentuk kursi. Di duga fungsinya sebagai tempak duduk para leluhur. Ketiga jenis tinggalan ini (arca menhir,menhir,dan kursi batu) masuk dalam kelompok tinggalan yang berfungsu sebagai media pemujaan terhadap roh leluhur (Kempers, 1959:73). Sementara itu fungsinya Menhir sebagaisarana pemujaan. Diketemukan di Grujukan dan Wringin. Juga di daerah Tlogosari dan maesan (Sudarsono,1995) Di Grujukan di temukan berkonteks dengan sarkofagus,sementara di Wringin di temukan menhir tanpa berkonteks dengan bangunan megalitikum lainnya karena mempunyai ukuran yang sangat besar di banding dengan menhir lain yang ditemukan di Bondowoso.
Sementara Itu Perlu dikemukakan bahwa di negari kita sampai saat ini pun masih terdapat kebudayaan megalithikum yang masih hidup, yang masih menjadi kebudayaan sekarang di kawasan Indonesia. Hal itu dikarenakan adanya suatu pola kepercayaan yang sampai saat ini masih juga diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, terutama oleh masyarakat pedalaman yang ada di kepulauan Nias, Kalimantan, Papua, kebudayaan Bali dan daerah-daerah yang jauh dari modernisasi di Indonesia ini dan Perlu diketahui 'Dari hasil penelitian terakhir para ahli, tahun 1998, memang layak kiranya disimpulkan bahwa tradisi megalitik Bondowoso adalah yang terkaya di Jawa Timur. Tapi saya belum yakin bila diukur se-Indonesia,'' kata Kayan Swastika, seorang pakar sejarah, kepada Republika belum lama ini.
Apa yang dikatakan Kayan memang tak mengada-ada. Selaku sejarawan yang selama ini bekerja di IKIP PGRI dan Universitas Jember, Kayan telah mengkaji ihwal tradisi ini selama bertahun-tahun. Dan hasil kajiannya selalu terbukti melalui penelitian beberapa ahli sejarah lainnya. Salah satu bukti bahwa Bondowoso menyimpan tradisi megalitik terlengkap di Jawa Timur adalah fakta masih banyak ditemukannya batu-batu peninggalan zaman prasejarah di dalam wilayah ini. Malah benda-benda bersejarah itu tersebar di lima desa dan kecamatan, Termasuk di Desa Pakauman (Kecamatan Grujugan),


Tidak ada komentar: