Kamis, 27 Oktober 2011

kerajaan pertama di indonesia ???


Kerajaan Samudera Pasai dan Sebuah Kejayaan Masa Lalu

Kerajaan Samudera Pasai dideklarasikan secara resmi sebagai kerajaan Islam pertama di Indonesia. Ini menurut buku-buku teks pelajaran di sekolah-sekolah. Namun, sebenarnya,  Kerajaan Perlak lah yang pertama kali berdiri sebelumnya. Yah, hal tersebut tidak usah lagi diperdebatkan. Sebab, kedua kerajaan sama-sama berlokasi di negeri Aceh, daerah pertama yang pertama dimasuki Islam. Lagipula, Kerajaan Perlak nantinya akan bergabung dengan Samudera Pasai.
Samudera Pasai didirikan oleh Nizamudin Al-Kamil pada tahun 1267. Nizamudin Al-Kamil adalah seorang laksamana angkatan laut dari Mesir sewaktu dinasti Fatimiyah berkuasa. Ia ditugaskan untuk merebut pelabuhan Kambayat di Gujarat pada tahun 1238 M. Setelah itu, ia mendirikan Kerajaan Pasai untuk menguasai perdagangan Lada. Dinasti Fatimiyah merupakan dinasti yang beraliran paham syiah, maka bisa kita anggap bahwa pada waktu itu Kerajaan Pasai juga berpaham Syiah. Naas, pada saat ekspansi ke daerah Sampar Kanan dan Sampar Kiri sang laksamana gugur.
Pada tahun 1284, setelah keruntuhan dinasti Fatimiyah yang beraliran syiah, dinasti Mamaluk yang bermadzhab Syafi`i  berinisiatif mengambil alih Kerajaan Pasai. Selain untuk menghilangkan pengaruh syiah, penaklukan ini juga bertujuan untuk menguasai pasar rempah-rempah lada dan pelabuhan Pasai. Maka, Syekh Ismail bersama Fakir Muhammad menunaikan tugas tersebut. Di sana mereka bertemu dengan Merah Silu, keturunan Marah Pasai, dan menjalin persekutuan. Mereka akhirnya berhasil merebut Pasai. Dan dinobatkanlah Merah Silu sebagai raja Samudera Pasai yang pertama, dengan gelar Malik As-Salih pada tahun 1285. Ada kisah-kisah menarik yang diterangkan dalam Hikayat Raja Pasai seputar Merah Silu. Kisah-kisah ini nyaris di luar nalar dan beraroma mistis. Seperti adanya sabda Rasulullah yang menubuatkan berdirinya kerajaan Pasai ataupun kisah Merah Silu yang tanpa diajari siapa pun mampu membaca Al-Quran 30 juz dengan sempurna. Terlepas dari itu, Malik As-Salih kemudian berpindah paham, dari syiah menuju madzhab syafii. Maka aliran paham di Kerajaan Samudera Pasai yang semula syiah berubah menjadi paham syafii yang sunni. Namun menurut Slamet Muljana, dominasi madzhab syafii hanya terjadi pada masa Malik As-Salih saja. Sebab, tercatat putra keduanya sendiri menyebrang ke paham syiah dan mendirikan kerajaan sendiri di Aru Barumun dengan gelar Malik al-Mansur. (www.pesantren-ciganjur.org)
Perkembangan selanjutnya, Malik As-Salih menikah dengan Ganggang Sari, putri dari Kerajaan Perlak. Dari perkawinan ini, lahirlah Malikul Dzahir, yang selanjutnya menjadi sultan kedua kerajaan Samudera Pasai. Pada masa pemerintahannya, ia menggabungkan Kerajaan Perlak dengan Samudera Pasai. Dan terbentuklah Kerajaan Samudera Pasai yang menguasai pantai timur sebelah utara Sumatera yang berdekatan dengan Selat Malaka. Tercatat, selama abad 13 sampai awal abad 16, Samudera Pasai dikenal sebagai salah satu kota di wilayah Selat Malaka dengan bandar pelabuhan yang sangat sibuk. Bersamaan dengan Pidie, Pasai menjadi pusat perdagangan internasional dengan lada sebagai salah satu komoditas ekspor utama.
Saat itu Pasai diperkirakan mengekspor lada sekitar 8.000- 10.000 bahara setiap tahunnya, selain komoditas lain seperti sutra, kapur barus, dan emas yang didatangkan dari daerah pedalaman. Bukan hanya perdagangan ekspor impor yang maju. Sebagai bandar dagang yang maju, Samudera Pasai mengeluarkan mata uang sebagai alat pembayaran. Salah satunya yang terbuat dari emas dikenal sebagai uang dirham.

mata uang kerajaan samudera pasai
Hubungan dagang dengan pedagang-pedagang Pulau Jawa juga terjalin. Produksi beras dari Jawa ditukar dengan lada. Pedagang-pedagang Jawa mendapat kedudukan yang istimewa di pelabuhan Samudera Pasai. Mereka dibebaskan dari pembayaran cukai. (http://tarekatqodiriyah.wordpress.com)
Ibnu Battutah, seorang musafir termasyhur, dalam catatan perjalanannya, terkesan akan keindahan Samudera Pasai sebagai kota perdagangan. Setelah 25 hari menempuh perjalanan dari Barhnakar ( wilayah di Myanmar), Battutah mendarat di sebuah daerah yang sangat subur. Perdagangan di daerah itu sangat maju. Ditandai dengan penggunaan mata uang emas. Ketika ia turun ke kota, ia takjub dengan keadaan kota,  di mana ia melihat kota besar yang indah dikelilingi oleh dinding dan menara kayu. Kota tersebut adalah ibukota Kerajaan Samudera Pasai. Battutah juga mengisahkan tentang Sultan Maliku Dzahir yang amat bersahaja. Ia menggambarkan sang sultan sebagai sultan yang saleh, pemurah, rendah hati dan mempunyai perhatian yang amat besar kepada fakir miskin. Meskipun ia telah menaklukkan banyak kerajaan, Malikul Dhahir tidak pernah bersikap jemawa. Kerendahan hatinya itu ditunjukkan sang raja saat menyambut rombongan Ibnu Battutah. Para tamunya dipersilakan duduk di atas hamparan kain, sedangkan ia langsung duduk di tanah tanpa beralas apa-apa. Dalam lembar kisahnya yang lain ia menulis, “Sultan sangat rendah hati dan berangkat ke masjid untuk shalat Jumat dengan berjalan kaki. Selesai shalat, Sultan dan rombongan mengelilingi kota untuk melihat keadaan rakyatnya.”
Ibnu Batutah berada di Samudera Pasai selama 15 hari. Sebelum berangkat meninggalkan wilayah Nusantara itu, ia sempat mengunjungi pedalaman Sumatera yang masih dihuni masyarakat bukan Islam.
Di sana, ia menyaksikan beberapa adat masyarakat yang cukup menakutkan, antara lain upacara bunuh diri beramai-ramai yang dilakukan para rakyat ketika pemimpinnya mati.
Beberapa karya tulis juga muncul pada zaman kerajaan Samudera Pasai. Sekelompok minoritas kreatif berhasil memanfaatkan huruf Arab yang dibawa oleh agama Islam, untuk menulis karya mereka dalam bahasa Melayu. Inilah yang kemudian disebut sebagai bahasa Jawi, dan hurufnya disebut Arab Jawi. Di antara karya tulis tersebut adalah Hikayat Raja Pasai (HRP). Bagian awal teks ini diperkirakan ditulis sekitar tahun 1360 M.
HRP menandai dimulainya perkembangan sastra Melayu klasik di bumi nusantara. Bahasa Melayu tersebut kemudian juga digunakan oleh Syaikh Abdurrauf al-Singkili untuk menuliskan buku-bukunya. Sejalan dengan itu, juga berkembang ilmu tasawuf. Di antara buku tasawuf yang diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu adalah Durru al-Manzum, karya Maulana Abu Ishak. Kitab ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu oleh Makhdum Patakan, atas permintaan dari Sultan Malaka. (http://mforum1.cari.com.my/). Ini menunjukan Samudera Pasai juga berperan sebagai pusat pengembangan agama Islam di Indonesia. Diutusnya dua ulama dari Pasai, Maulana Malik Ibrahim dan Maulana Ishak, ke Pulau Jawa, semakin mempertegas pengaruh Samudera Pasai bagi perkembangan Islam di Indonesia. Berkat dua ulama tersebut, yang memulai dakwah dari daerah Gresik, Islam tumbuh dengan pesat di Pulau Jawa. Dan karena berperan sebagai pendakwah pertama, Maulana Ishak bergelar Syekh Awwalul Islam. Fakta lain, pendiri Kerajaan Cirebon dan Banten, Fatahillah atau biasa dikenal sebagai Sunan Gunung Jati, ternyata adalah seorang putra Pasai. Jelaslah peran kerajaan ini dalam penyebaran agama Islam di Indonesia, terutama Pulau Jawa.
Selain itu, bahasa Melayu dari Pasai digunakan pula dalam kitab-kitab pelajaran agama Islam sebagai pengantarnya. Istilah “bahasa Melayu” sendiri, merupakan kebiasaan baru di abad ke-18. Pada abad ke-16 dan 17, bahasa Melayu disebut dengan istilah “bahasa Jawi”. Hal ini karena bahasa itu ditulis dalam huruf Jawi, yakni huruf Arab yang telah disesuaikan dengan ucapan lidah masyarakat Nusantara. Sementara “jawi” ialah sebutan orang-orang Arab di masa itu untuk negeri-negeri di wilayah Nusantara/Asia Tenggara. Selanjutnya, bahasa Melayu terus berkembang dan akhirnya bertransformasi menjadi bahasa nasional Indonesia. Bisa dikatakan, bahasa Melayu Pasai merupakan cikal bakal bahasa nasional orang Indonesia.
Di tahun 1350 M Kerajaan Samudera Pasai mencapai masa kebesarannya. Kerajaan Samudera Pasai juga berhubungan langsung dengan Kerajaan Cina sebagai siasat untuk mengamankan diri dari ancaman Kerajaan Siam yang daerahnya meliputi Jazirah Malaka. Perkembangan ekonomi masyarakat Kerajaan Samudera Pasai bertambah pesat, sehingga selalu menjadi perhatian sekaligus incaran dari kerajaan – kerajaan di sekitarnya. Setelah Samudera Pasai dikuasai oleh Kerajaan Malaka maka pusat perdagangan dipindahkan ke Bandar Malaka. Perkembangan pesat Kerajaan Malaka memang merupakan sebab yang membuat Kerajaan Samudera Pasai mengalami kemunduran. Pernikahan Parameswara atau Sultan Iskandar Syah, pendiri Kerajaan Malaka, dengan putri Kerajaan Samudera Pasai memang memperkuat hubungan Kerajaan Samudera Pasai dengan Kerajaan Malaka. Namun di sisi lain, Kerajaan Samudera Pasai posisinya semakin melemah. Pada akhirnya, Kerajaan Malaka mengambil alih Kerajaan Samudera Pasai dan menguasai bandarnya.

Tidak ada komentar: