Kerajaan Samudera Pasai dan Sebuah Kejayaan
Masa Lalu
Kerajaan
Samudera Pasai dideklarasikan secara resmi sebagai kerajaan Islam pertama di
Indonesia. Ini menurut buku-buku teks pelajaran di sekolah-sekolah. Namun,
sebenarnya, Kerajaan
Perlak lah yang pertama kali berdiri sebelumnya. Yah, hal tersebut tidak usah lagi
diperdebatkan. Sebab, kedua kerajaan sama-sama berlokasi di negeri Aceh, daerah
pertama yang pertama dimasuki Islam. Lagipula, Kerajaan Perlak nantinya akan
bergabung dengan Samudera Pasai.
Samudera
Pasai didirikan oleh Nizamudin Al-Kamil pada tahun 1267. Nizamudin Al-Kamil
adalah seorang laksamana angkatan laut dari Mesir sewaktu dinasti Fatimiyah
berkuasa. Ia ditugaskan untuk merebut pelabuhan Kambayat di Gujarat pada tahun
1238 M. Setelah itu, ia mendirikan Kerajaan Pasai untuk menguasai perdagangan
Lada. Dinasti Fatimiyah merupakan dinasti yang beraliran paham syiah, maka bisa
kita anggap bahwa pada waktu itu Kerajaan Pasai juga berpaham Syiah. Naas, pada
saat ekspansi ke daerah Sampar Kanan dan Sampar Kiri sang laksamana gugur.
Pada tahun
1284, setelah keruntuhan dinasti Fatimiyah yang beraliran syiah, dinasti Mamaluk
yang bermadzhab Syafi`i berinisiatif mengambil alih Kerajaan Pasai.
Selain untuk menghilangkan pengaruh syiah, penaklukan ini juga bertujuan untuk
menguasai pasar rempah-rempah lada dan pelabuhan Pasai. Maka, Syekh Ismail
bersama Fakir Muhammad menunaikan tugas tersebut. Di sana mereka bertemu dengan
Merah Silu, keturunan Marah Pasai, dan menjalin persekutuan. Mereka akhirnya
berhasil merebut Pasai. Dan dinobatkanlah Merah Silu sebagai raja Samudera
Pasai yang pertama, dengan gelar Malik As-Salih pada tahun 1285. Ada kisah-kisah menarik yang diterangkan dalam Hikayat Raja
Pasai seputar Merah Silu. Kisah-kisah ini nyaris di luar nalar dan beraroma
mistis. Seperti adanya sabda Rasulullah yang menubuatkan berdirinya kerajaan
Pasai ataupun kisah Merah Silu yang tanpa diajari siapa pun mampu membaca
Al-Quran 30 juz dengan sempurna. Terlepas dari itu, Malik As-Salih kemudian
berpindah paham, dari syiah menuju madzhab syafii. Maka aliran paham di
Kerajaan Samudera Pasai yang semula syiah berubah menjadi paham syafii yang
sunni. Namun menurut Slamet Muljana, dominasi madzhab syafii hanya terjadi pada
masa Malik As-Salih saja. Sebab, tercatat putra keduanya sendiri menyebrang ke
paham syiah dan mendirikan kerajaan sendiri di Aru Barumun dengan gelar Malik
al-Mansur. (www.pesantren-ciganjur.org)
Perkembangan
selanjutnya, Malik As-Salih menikah dengan Ganggang Sari, putri dari Kerajaan
Perlak. Dari perkawinan ini, lahirlah Malikul Dzahir, yang selanjutnya menjadi
sultan kedua kerajaan Samudera Pasai. Pada masa pemerintahannya, ia
menggabungkan Kerajaan Perlak dengan Samudera Pasai. Dan terbentuklah Kerajaan
Samudera Pasai yang menguasai pantai timur sebelah utara Sumatera yang
berdekatan dengan Selat Malaka. Tercatat, selama abad 13 sampai awal abad 16,
Samudera Pasai dikenal sebagai salah satu kota di wilayah Selat Malaka dengan
bandar pelabuhan yang sangat sibuk. Bersamaan dengan Pidie, Pasai menjadi pusat
perdagangan internasional dengan lada sebagai salah satu komoditas ekspor
utama.
Saat itu
Pasai diperkirakan mengekspor lada sekitar 8.000- 10.000 bahara setiap
tahunnya, selain komoditas lain seperti sutra, kapur barus, dan emas yang
didatangkan dari daerah pedalaman. Bukan hanya perdagangan ekspor impor yang
maju. Sebagai bandar dagang yang maju, Samudera Pasai mengeluarkan mata uang
sebagai alat pembayaran. Salah satunya yang terbuat dari emas dikenal sebagai
uang dirham.
mata uang
kerajaan samudera pasai
Hubungan
dagang dengan pedagang-pedagang Pulau Jawa juga terjalin. Produksi beras dari
Jawa ditukar dengan lada. Pedagang-pedagang Jawa mendapat kedudukan yang
istimewa di pelabuhan Samudera Pasai. Mereka dibebaskan dari pembayaran cukai.
(http://tarekatqodiriyah.wordpress.com)
Ibnu Battutah, seorang musafir termasyhur, dalam catatan perjalanannya, terkesan akan keindahan Samudera Pasai sebagai kota perdagangan. Setelah 25 hari menempuh perjalanan dari Barhnakar ( wilayah di Myanmar), Battutah mendarat di sebuah daerah yang sangat subur. Perdagangan di daerah itu sangat maju. Ditandai dengan penggunaan mata uang emas. Ketika ia turun ke kota, ia takjub dengan keadaan kota, di mana ia melihat kota besar yang indah dikelilingi oleh dinding dan menara kayu. Kota tersebut adalah ibukota Kerajaan Samudera Pasai. Battutah juga mengisahkan tentang Sultan Maliku Dzahir yang amat bersahaja. Ia menggambarkan sang sultan sebagai sultan yang saleh, pemurah, rendah hati dan mempunyai perhatian yang amat besar kepada fakir miskin. Meskipun ia telah menaklukkan banyak kerajaan, Malikul Dhahir tidak pernah bersikap jemawa. Kerendahan hatinya itu ditunjukkan sang raja saat menyambut rombongan Ibnu Battutah. Para tamunya dipersilakan duduk di atas hamparan kain, sedangkan ia langsung duduk di tanah tanpa beralas apa-apa. Dalam lembar kisahnya yang lain ia menulis, “Sultan sangat rendah hati dan berangkat ke masjid untuk shalat Jumat dengan berjalan kaki. Selesai shalat, Sultan dan rombongan mengelilingi kota untuk melihat keadaan rakyatnya.”
Ibnu Batutah berada di Samudera Pasai selama 15 hari. Sebelum berangkat meninggalkan wilayah Nusantara itu, ia sempat mengunjungi pedalaman Sumatera yang masih dihuni masyarakat bukan Islam.
Di sana, ia menyaksikan beberapa adat masyarakat yang cukup menakutkan, antara lain upacara bunuh diri beramai-ramai yang dilakukan para rakyat ketika pemimpinnya mati.
Ibnu Battutah, seorang musafir termasyhur, dalam catatan perjalanannya, terkesan akan keindahan Samudera Pasai sebagai kota perdagangan. Setelah 25 hari menempuh perjalanan dari Barhnakar ( wilayah di Myanmar), Battutah mendarat di sebuah daerah yang sangat subur. Perdagangan di daerah itu sangat maju. Ditandai dengan penggunaan mata uang emas. Ketika ia turun ke kota, ia takjub dengan keadaan kota, di mana ia melihat kota besar yang indah dikelilingi oleh dinding dan menara kayu. Kota tersebut adalah ibukota Kerajaan Samudera Pasai. Battutah juga mengisahkan tentang Sultan Maliku Dzahir yang amat bersahaja. Ia menggambarkan sang sultan sebagai sultan yang saleh, pemurah, rendah hati dan mempunyai perhatian yang amat besar kepada fakir miskin. Meskipun ia telah menaklukkan banyak kerajaan, Malikul Dhahir tidak pernah bersikap jemawa. Kerendahan hatinya itu ditunjukkan sang raja saat menyambut rombongan Ibnu Battutah. Para tamunya dipersilakan duduk di atas hamparan kain, sedangkan ia langsung duduk di tanah tanpa beralas apa-apa. Dalam lembar kisahnya yang lain ia menulis, “Sultan sangat rendah hati dan berangkat ke masjid untuk shalat Jumat dengan berjalan kaki. Selesai shalat, Sultan dan rombongan mengelilingi kota untuk melihat keadaan rakyatnya.”
Ibnu Batutah berada di Samudera Pasai selama 15 hari. Sebelum berangkat meninggalkan wilayah Nusantara itu, ia sempat mengunjungi pedalaman Sumatera yang masih dihuni masyarakat bukan Islam.
Di sana, ia menyaksikan beberapa adat masyarakat yang cukup menakutkan, antara lain upacara bunuh diri beramai-ramai yang dilakukan para rakyat ketika pemimpinnya mati.
Beberapa
karya tulis juga muncul pada zaman kerajaan Samudera Pasai. Sekelompok
minoritas kreatif berhasil memanfaatkan huruf Arab yang dibawa oleh agama
Islam, untuk menulis karya mereka dalam bahasa Melayu. Inilah yang kemudian
disebut sebagai bahasa Jawi, dan hurufnya disebut Arab Jawi. Di antara karya
tulis tersebut adalah Hikayat Raja Pasai (HRP). Bagian awal teks ini
diperkirakan ditulis sekitar tahun 1360 M.
HRP menandai
dimulainya perkembangan sastra Melayu klasik di bumi nusantara. Bahasa Melayu
tersebut kemudian juga digunakan oleh Syaikh Abdurrauf al-Singkili untuk
menuliskan buku-bukunya. Sejalan dengan itu, juga berkembang ilmu tasawuf. Di
antara buku tasawuf yang diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu adalah Durru
al-Manzum, karya Maulana Abu Ishak. Kitab ini kemudian diterjemahkan ke dalam
bahasa Melayu oleh Makhdum Patakan, atas permintaan dari Sultan Malaka. (http://mforum1.cari.com.my/). Ini menunjukan Samudera Pasai
juga berperan sebagai pusat pengembangan agama Islam di Indonesia. Diutusnya
dua ulama dari Pasai, Maulana Malik Ibrahim dan Maulana Ishak, ke Pulau Jawa,
semakin mempertegas pengaruh Samudera Pasai bagi perkembangan Islam di
Indonesia. Berkat dua ulama tersebut, yang memulai dakwah dari daerah Gresik,
Islam tumbuh dengan pesat di Pulau Jawa. Dan karena berperan sebagai pendakwah
pertama, Maulana Ishak bergelar Syekh Awwalul Islam. Fakta lain, pendiri
Kerajaan Cirebon dan Banten, Fatahillah atau biasa dikenal sebagai Sunan Gunung
Jati, ternyata adalah seorang putra Pasai. Jelaslah peran kerajaan ini dalam
penyebaran agama Islam di Indonesia, terutama Pulau Jawa.
Selain itu,
bahasa Melayu dari Pasai digunakan pula dalam kitab-kitab pelajaran agama Islam
sebagai pengantarnya. Istilah “bahasa Melayu” sendiri, merupakan kebiasaan baru
di abad ke-18. Pada abad ke-16 dan 17, bahasa Melayu disebut dengan istilah
“bahasa Jawi”. Hal ini karena bahasa itu ditulis dalam huruf Jawi, yakni huruf
Arab yang telah disesuaikan dengan ucapan lidah masyarakat Nusantara. Sementara
“jawi” ialah sebutan orang-orang Arab di masa itu untuk negeri-negeri di
wilayah Nusantara/Asia Tenggara. Selanjutnya, bahasa Melayu terus berkembang
dan akhirnya bertransformasi menjadi bahasa nasional Indonesia. Bisa dikatakan,
bahasa Melayu Pasai merupakan cikal bakal bahasa nasional orang Indonesia.
Di tahun
1350 M Kerajaan Samudera Pasai mencapai masa kebesarannya. Kerajaan Samudera
Pasai juga berhubungan langsung dengan Kerajaan Cina sebagai siasat untuk
mengamankan diri dari ancaman Kerajaan Siam yang daerahnya meliputi Jazirah
Malaka. Perkembangan ekonomi masyarakat Kerajaan Samudera Pasai bertambah
pesat, sehingga selalu menjadi perhatian sekaligus incaran dari kerajaan –
kerajaan di sekitarnya. Setelah Samudera Pasai dikuasai oleh Kerajaan Malaka
maka pusat perdagangan dipindahkan ke Bandar Malaka. Perkembangan pesat
Kerajaan Malaka memang merupakan sebab yang membuat Kerajaan Samudera Pasai
mengalami kemunduran. Pernikahan Parameswara atau Sultan Iskandar Syah, pendiri
Kerajaan Malaka, dengan putri Kerajaan Samudera Pasai memang memperkuat
hubungan Kerajaan Samudera Pasai dengan Kerajaan Malaka. Namun di sisi lain,
Kerajaan Samudera Pasai posisinya semakin melemah. Pada akhirnya, Kerajaan
Malaka mengambil alih Kerajaan Samudera Pasai dan menguasai bandarnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar